Minggu, 04 September 2016

Mutiara Keikhlasan Albi Oleh Bella XII IPA 2

Riuh tepuk tangan menggema memenuhi seluruh isi ruangan tempat lomba Qiro'ah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Seorang anak berusia sebelas tahun dengan baju koko putih panjang, sarung hitam berdiri dengan menarik kedua ujung bibirnya dihadapan puluhan penonton. Tubuhnya sedikit bergetar. Telapak tangannya basah oleh keringat. Matanya mengisyaratkan rasa bahagia yang luar biasa. Senyumnya semakin merekah tatkala sang Bunda berdiri dibagian penonton dengan tangan memegang Al-Quran di dada. Sekilas ia melihat juri yang membawa piala sedang menuju ke arahnya. Piala bertuliskan “Juara 1 Lomba Qiro'ah” itu beralih dari tangan juri ke tangannya. Sepersekian detik setelahnya, kening, hidung, telapak tangan, dan alat gerak bagian bawahnya menyentuh lantai tempat perlombaan itu berlangsung. Ia melakukan sujud syukur dengan memejamkan matanya. Saat melakukan hal tersebut, ia merasakan tetes tetes air mengenai punggungnya. “Bi, bangun!” suara seorang wanita menghentikan mimpi indahnya. “Ayo bangun. Genting kamar kamu bocor.” Tambahnya. “Eh. Iya Bun.” Yang dipanggil segera beranjak dari posisi tengkurapnya dan menuju ke dapur untuk mengambil baskom sebagai tempat penadah air. Lalu ia kembali ke kamar dan menempatkannya diatas tempat tidur yang kemudian menyusul bundanya ke ruang tamu. Tempat berkumpul keluarga mereka saat turun hujan.

Rumah kayu dengan genting yang sudah berlumut dan dinding yang sudah doyong ke kanan. Menjadi tempat paling sempurna untuk mereka berlindung. Keluarga kecil yang selalu bersyukur dengan apa yang mereka punya. Yang tak pernah mengenal kata mengeluh. Yang selalu berusaha dengan tenaga yang mereka punya untuk mendapatkan sesuatu. Keluarga luar biasa. “Bun, tadi Albi mimpi indah.” Anak bernama Albi itu langsung bergabung bersama kedua orang tua dan adiknya, Bina yang berusia 8 tahun. “Tadi Albi ikut lomba Qiroah dan jadi juara satu. lalu Albi sujud syukur, eh punggung Albi basah. Ternyata atap kamar Albi bocor. Haahaha.” Tawa keluarga itu pecah setelah mendengar mimpinya. “Ya semoga mimpi kamu jadi nyata, Bi. Bunda doakan.” Jawab Bundanya, Aina. Dua hari berlalu, mimpi itu masih menetap di pikirannya. Hampir setiap ada waktu luang, ia mencoba meneruskan mimpi yang menurutnya indah itu. “Bun, ajari Albi Qiroah ya,?” Pintanya pada bunda saat membantu memasak untuk menu makan malam. “Iya, tapi kamu setiap sore harus belajar baca Juz-Amma dulu di Ustadz Imam. Nanti malam harinya bunda yang ngajar Qiroah. Gimana? Setuju?” Tawar Aina yang mendapat anggukan ragu. “Kenapa? Keberatan?” tambahnya. “Terus jam bermain Albi gimana? Kan—“ “Kamu mau mimpi kamu jadi kenyataan kan? Mau membahagiakan Bunda, Ayah, dengan Bina kan?” belum sempat ia menjelaskan, Ibunya sudah terlebih dahulu memotong pembicaraan. Akhirnya, perdebatan kecil itu menghasilkan anggukan mantap. “Hari minggu hari bebas kamu. Mau ngaji boleh, bermain juga boleh. Ingat! Hanya hari minggu sore.” Bundanya memberi keringanan. “Baik. Terimakasih bunda.” Hari pertama, Albi berangkat ke rumah Ustadz Imam dengan semangat yang luar biasa. Tekadnya besar mengenai mimpi itu sampai ia merelakan untuk menggunakan waktu bermainnya untuk belajar. Mungkin ia hanya akan bermain saat malam hari saja. Bermain di alam mimpi. Berjalan satu bulan, hari bebasnya digunakan pula untuk mengaji. Bundanya sangat senang. Anak pertamanya, memasuki masa remaja dengan perilaku mulia.

Tidak ada satu tahun, ia telah berhasil mengkhatamkan Juz-Amma. Sebagai hadiah, Ustadz Imam mengajaknya makan siang di kedai Ice Cream terkenal. Baru pertama rasanya ia menikmati ice cream
seperti ini. Ustadz Imam kemudian mengajaknya pergi ke RSUD untuk menjenguk saudaranya. Albi berjalan dikoridor rumah sakit sambil melihat kamar-kamar yang ada. Pandangannya terhenti pada kamar penderita Kanker. Terlihat dari pintu yang terbuka, seorang anak perempuan sedang membaca ayat Al-Quran dengan suara khas anakanak. Ia berhenti sejenak sampai Ustadz Imam menarik tangannya untuk cepat. Ia kembali berjalan. Dua minggu setelah itu, Ustadz Imam memberitahunya bahwa satu minggu lagi aka nada lomba Qiro'ah. Albi sangat antusias. Mimpinya sebentar lagi akan menjadi kenyataan. Ia akan membanggakan bunda, ayah, dan adiknya. Ia akan membahagiakan keluarganya. Setiap selesai sholat maghrib menjadi waktu khusus untuknya berlatih pada sang bunda. Hal itu berlangsung sampai satu hari sebelum lomba berlangsung. Koko putih panjang, sarung cokelat dan peci hitam serta Al-Qur'an bersampul kuning menjadi pelengkapnya berangkat ke tempat lomba. Setelah namanya dipanggil, ia meraih tangan bundanya dan meminta doa restu agar ia dapat menampilkan yang terbaik Dihadapan para juri ia menguras keringat kerja kerasnya selama ini. Dan tepuk tangan meriah dari para penonton menjadi patokannya bahwa ia berhasil. Giliran selanjutnya adalah peserta di samping kanannya. Saat peserta itu berdiri dan maju ke panggung, secarik kertas jatuh dari pangkuannya. Karena rasa penasaran, ia mengambil dan membacanya. Ia membaca diiringi suara pemiliknya. Bibirnya bergetar. Tidak seperti saat ia menerima piala di mimpi saat itu, melainkan karena membaca tulisan di kertas itu yang berisi, “YaAllah. Jika ini waktu pertama dan terakhir Tara untuk berlomba, izinkan Tara menjadi juara. Terimakasih untuk semua nikmat
sakit ini. Tara selalu bersyukur untuk semuanya. Tara sayang Allah.” Setelah membacanya, ia ingat bahwa gadis cilik bernama Tara ini adalah anak kecil yang ia lihat di kamar penderita kanker saat ia diajak Ustadz Imam menjenguk saudaranya di RSUD. Hatinya semakin bergetar. Disela waktu perundingan juri, ia berusaha menyampaikan keinginan gadis itu. Dan permintaannya disetujui.
“ T e t a p i , konsekuensinya kamu harus gugur ya?” “Baiklah. Tidak a p a - a p a . M a s i h a d a kesempatan lain.” Batinnya sambil mengangguk kearah juri. P e n g u m u m a n juara pun dimulai. Albi melirik gadis disampingnya. Wajahnya pucat. Ia semakin merasa kasihan. Setelah dua kali dibacakan nama juara dari yang terendah, nama gadis itu 'Atara Syafa' dipanggil sebagai juara pertama. Senyum gadis itu mengembang. Ia langsung memeluk wanita disampingnya dan meneteskan air mata.Ia pun berdiri untuk menerima piala dan piagam penghargaan.Ia duduk kembali dan langsung memeluk ibunya untuk yang kedua kalinya. Albi meliriknya, dan gadis itu tersenyum ke arahnya. Saat Albi memalingkan wajahnya dari gadis itu. Seorang wanita berteriak. Gadis bernama Tara yang beberapa detik lalu sedang
tersenyum manis padanya, menghembuskan nafas terakhir dipangkuan ibunya. Albi mendongak berharap agar air matanya tidak jatuh. Namun sia-sia. Air mata itu sudah terlanjur jatuh. Ia segera menyekanya. Albi dan bundanya akhirnya pulang tanpa membawa apa-apa.
Di depan pintu tempat lomba, ibu Tara menahan langkah mereka. “Tunggu sebentar, saya ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada adik.” Ucapnya menghalangi langkah Albi dan Aina.
“Untuk apa?” jawab Aina. “Tadi saya melihat saat kamu mengambil surat yang jatuh dari pangkuan Tara. Saya juga melihat kamu masuk ke tempat perundingan juri. Saya tahu yang pantas menjadi juara itu kamu, bukan Tara. Tapi kamu memberikan semuanya untuk anak saya di saat-saat terakhirnya. Bagaimana cara saya agar dapat membalas budi baikmu?” ibu Tara berbicara panjang sambil menahan airmata. “Tidak apa-apa bu. Saya kan masih ada lain kesempatan. Turut berduka cita, semoga Tara tenang di Surga. Tara gadis kecil yang pintar.” Jawab Albi mencoba menaikkan semangat wanita paruh baya itu. “Terimakasih ya? Em— Siapa nama kamu?”
“Albi”
“Terimakasih nak Albi. Semoga Allah membalas perbuatan baikmu.”
Walaupun Albi tidak menjadi juara pertama dalam lomba, namun hatinya tetap bahagia. Baru kali ini ia merasa sangat bahagia setelah mengorbankan keinginannya. Ketulusan yang ia beri pada Tara merupakan wujud nyata dari didikan ibundanya yang selalu mengajarkan 'Ketulusan diberi tanpa harus ditanyakan.” Jika ia masih bisa melakukan hal baik, ia akan melakukannya dengan yang terbaik. Karena tidak ada perjuangan yang sia-sia. Orang sukses tidak akan pernah takut untuk mencoba- gagal- dan mengikhlaskan. Keyakinan bahwa Allah selalu memiliki rencana yang lebih indah dibalik setiap peristiwa harus ditanam di lubuk hati agar dapat menjalani hidup penuh keikhlasan.



Share:

0 komentar:

Posting Komentar

INGAT WAKTU YA..

RUMAH BELAJAR

RUMAH BELAJAR
Belajar Dimana Saja

JATENG PINTAR

JATENG PINTAR
portal jawa tengah

Daftar Postingan

Diberdayakan oleh Blogger.

Statistik Penayangan

Recent Posts