Riuh tepuk
tangan menggema memenuhi seluruh isi ruangan tempat lomba Qiro'ah peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW. Seorang anak berusia sebelas tahun dengan baju koko putih
panjang, sarung hitam berdiri
dengan menarik kedua ujung bibirnya dihadapan puluhan penonton. Tubuhnya
sedikit bergetar. Telapak tangannya basah oleh keringat. Matanya mengisyaratkan
rasa bahagia yang luar biasa. Senyumnya semakin merekah tatkala sang Bunda
berdiri dibagian penonton dengan tangan memegang Al-Quran di dada. Sekilas ia
melihat juri yang membawa piala sedang menuju ke arahnya. Piala bertuliskan “Juara
1 Lomba Qiro'ah” itu beralih dari tangan juri ke tangannya. Sepersekian detik
setelahnya, kening, hidung, telapak tangan, dan alat gerak bagian bawahnya
menyentuh lantai tempat perlombaan itu
berlangsung. Ia melakukan sujud syukur dengan memejamkan matanya. Saat
melakukan hal tersebut, ia merasakan tetes tetes air mengenai punggungnya. “Bi,
bangun!” suara seorang wanita menghentikan mimpi indahnya. “Ayo bangun. Genting
kamar kamu bocor.” Tambahnya. “Eh. Iya Bun.” Yang dipanggil segera beranjak
dari posisi tengkurapnya dan menuju ke dapur untuk mengambil baskom sebagai tempat
penadah air. Lalu ia kembali ke kamar dan menempatkannya diatas tempat tidur
yang kemudian menyusul bundanya ke ruang tamu. Tempat berkumpul keluarga mereka
saat turun hujan.
Rumah kayu
dengan genting yang sudah berlumut dan dinding yang sudah doyong ke kanan.
Menjadi tempat paling sempurna untuk mereka berlindung. Keluarga kecil yang
selalu bersyukur dengan apa yang mereka punya. Yang tak pernah mengenal kata
mengeluh. Yang selalu berusaha dengan tenaga yang mereka punya untuk
mendapatkan sesuatu. Keluarga luar biasa. “Bun, tadi Albi mimpi indah.” Anak
bernama Albi itu langsung bergabung bersama kedua orang tua dan adiknya, Bina
yang berusia 8 tahun. “Tadi
Albi ikut lomba Qiroah dan jadi juara satu. lalu Albi sujud syukur, eh punggung
Albi basah. Ternyata atap kamar Albi bocor. Haahaha.” Tawa keluarga itu pecah
setelah mendengar mimpinya. “Ya semoga mimpi kamu jadi nyata, Bi. Bunda doakan.”
Jawab Bundanya, Aina. Dua hari berlalu, mimpi itu masih menetap di pikirannya. Hampir
setiap ada waktu luang, ia mencoba meneruskan mimpi yang menurutnya
indah itu. “Bun, ajari Albi Qiroah ya,?” Pintanya pada bunda saat membantu memasak
untuk menu makan malam. “Iya, tapi kamu setiap sore harus belajar baca Juz-Amma
dulu di Ustadz Imam. Nanti malam harinya bunda yang ngajar Qiroah. Gimana?
Setuju?” Tawar Aina yang mendapat anggukan ragu. “Kenapa? Keberatan?”
tambahnya. “Terus jam bermain Albi gimana? Kan—“ “Kamu mau mimpi kamu jadi
kenyataan kan? Mau membahagiakan Bunda, Ayah, dengan Bina kan?” belum sempat ia
menjelaskan, Ibunya sudah terlebih dahulu memotong pembicaraan. Akhirnya,
perdebatan kecil itu menghasilkan anggukan mantap. “Hari minggu hari bebas kamu.
Mau ngaji boleh, bermain juga boleh. Ingat! Hanya hari minggu sore.” Bundanya
memberi keringanan. “Baik. Terimakasih bunda.” Hari pertama, Albi berangkat ke
rumah Ustadz Imam dengan semangat yang luar biasa. Tekadnya besar mengenai
mimpi itu sampai ia merelakan untuk menggunakan waktu bermainnya untuk belajar.
Mungkin ia hanya akan bermain saat malam hari saja. Bermain di alam mimpi. Berjalan
satu bulan, hari bebasnya digunakan pula untuk mengaji. Bundanya sangat senang.
Anak pertamanya, memasuki masa remaja dengan perilaku mulia.
Tidak ada satu
tahun, ia telah berhasil mengkhatamkan Juz-Amma. Sebagai hadiah, Ustadz Imam
mengajaknya makan siang di kedai Ice Cream terkenal. Baru pertama rasanya ia
menikmati ice cream
seperti ini. Ustadz
Imam kemudian mengajaknya pergi ke RSUD untuk menjenguk saudaranya. Albi berjalan
dikoridor rumah sakit sambil melihat kamar-kamar yang ada. Pandangannya
terhenti pada kamar penderita Kanker. Terlihat dari pintu yang terbuka, seorang
anak perempuan sedang membaca ayat Al-Quran dengan suara khas anakanak. Ia
berhenti sejenak sampai Ustadz Imam menarik tangannya untuk cepat. Ia kembali
berjalan. Dua minggu setelah itu, Ustadz Imam memberitahunya bahwa satu minggu
lagi aka nada lomba Qiro'ah. Albi sangat antusias. Mimpinya sebentar lagi akan
menjadi kenyataan. Ia akan membanggakan bunda, ayah, dan adiknya. Ia akan
membahagiakan keluarganya. Setiap selesai sholat maghrib menjadi waktu khusus
untuknya berlatih pada sang bunda. Hal itu berlangsung sampai satu hari sebelum
lomba berlangsung. Koko putih panjang, sarung cokelat dan peci hitam serta Al-Qur'an
bersampul kuning menjadi pelengkapnya berangkat ke tempat lomba. Setelah
namanya dipanggil, ia meraih tangan bundanya dan meminta doa restu agar ia dapat
menampilkan yang terbaik Dihadapan para juri ia menguras keringat kerja
kerasnya selama ini. Dan tepuk tangan meriah dari para penonton menjadi
patokannya bahwa ia berhasil. Giliran selanjutnya adalah peserta di samping
kanannya. Saat peserta itu berdiri dan maju ke panggung, secarik kertas jatuh
dari pangkuannya. Karena rasa penasaran, ia mengambil dan membacanya. Ia
membaca diiringi suara pemiliknya. Bibirnya bergetar. Tidak seperti saat ia
menerima piala di mimpi saat itu, melainkan karena membaca tulisan di kertas
itu yang berisi, “YaAllah. Jika ini waktu pertama dan terakhir Tara untuk berlomba,
izinkan Tara menjadi juara. Terimakasih untuk semua nikmat
sakit ini.
Tara selalu bersyukur untuk semuanya. Tara sayang Allah.” Setelah membacanya,
ia ingat bahwa gadis cilik bernama Tara ini adalah anak kecil yang ia lihat di
kamar penderita kanker saat ia diajak Ustadz Imam menjenguk saudaranya di RSUD.
Hatinya semakin bergetar. Disela waktu perundingan juri, ia berusaha
menyampaikan keinginan gadis itu. Dan permintaannya disetujui.
“ T e t a p i
, konsekuensinya kamu harus gugur ya?” “Baiklah. Tidak a p a - a p a . M a s i
h a d a kesempatan lain.” Batinnya sambil mengangguk kearah juri. P e n g u m u
m a n juara pun dimulai. Albi melirik gadis disampingnya. Wajahnya pucat. Ia
semakin merasa kasihan. Setelah dua kali dibacakan nama juara dari yang
terendah, nama gadis itu 'Atara Syafa' dipanggil sebagai juara pertama. Senyum
gadis itu mengembang. Ia langsung memeluk wanita disampingnya dan meneteskan
air mata.Ia pun berdiri untuk menerima piala dan piagam penghargaan.Ia duduk kembali
dan langsung memeluk ibunya untuk yang kedua kalinya. Albi meliriknya, dan gadis
itu tersenyum ke arahnya. Saat Albi memalingkan wajahnya dari gadis itu.
Seorang wanita berteriak. Gadis bernama Tara yang beberapa detik lalu sedang
tersenyum
manis padanya, menghembuskan nafas terakhir dipangkuan ibunya. Albi mendongak
berharap agar air matanya tidak jatuh. Namun sia-sia. Air mata itu sudah
terlanjur jatuh. Ia segera menyekanya. Albi dan bundanya akhirnya pulang tanpa
membawa apa-apa.
Di depan pintu
tempat lomba, ibu Tara menahan langkah mereka. “Tunggu sebentar, saya ingin
mengucapkan banyak terimakasih kepada adik.” Ucapnya menghalangi langkah Albi
dan Aina.
“Untuk apa?”
jawab Aina. “Tadi saya melihat saat kamu mengambil surat yang jatuh dari pangkuan
Tara. Saya juga melihat kamu masuk ke tempat perundingan juri. Saya tahu yang
pantas menjadi juara itu kamu, bukan Tara. Tapi kamu memberikan semuanya untuk
anak saya di saat-saat terakhirnya. Bagaimana cara saya agar dapat membalas
budi baikmu?” ibu Tara berbicara panjang sambil menahan airmata. “Tidak apa-apa
bu. Saya kan masih ada lain kesempatan. Turut berduka cita, semoga Tara tenang
di Surga. Tara gadis kecil yang pintar.” Jawab Albi mencoba menaikkan semangat
wanita paruh baya itu. “Terimakasih ya? Em— Siapa nama kamu?”
“Albi”
“Terimakasih
nak Albi. Semoga Allah membalas perbuatan baikmu.”
Walaupun Albi
tidak menjadi juara pertama dalam lomba, namun hatinya tetap bahagia. Baru kali
ini ia merasa sangat bahagia setelah mengorbankan keinginannya. Ketulusan yang
ia beri pada Tara merupakan wujud nyata dari didikan ibundanya yang selalu mengajarkan
'Ketulusan diberi tanpa harus ditanyakan.” Jika ia masih bisa melakukan hal
baik, ia akan melakukannya dengan yang terbaik. Karena tidak ada perjuangan
yang sia-sia. Orang sukses tidak akan pernah takut untuk mencoba- gagal- dan
mengikhlaskan. Keyakinan bahwa Allah selalu memiliki rencana yang lebih indah
dibalik setiap peristiwa harus ditanam di lubuk hati agar dapat menjalani hidup
penuh keikhlasan.
0 komentar:
Posting Komentar