Senin, 05 September 2016

A Wish

Jika hal ini terus berlanjut tanpa ada tindakan yang tegas dari sekolah, dia akan terus melakukan hal-hal yang lebih parah lagi!” kata seseorang lelaki berumur kira-kira 50 tahun tersebut di ruang guru saat rapat.
          “Sebaiknya kita beri surat panggilan kepada orangtuanya. Agar mereka tahu bagaimana sekipanya selama di sekolah.” Seorang wanita berambut pendek yang lebih muda menyahut.
          “Sama saja, tidak ada gunanya. Orangtuanya tidak pernah ada waktu untuknya. Diberi surat panggilanpun paling-paling langsung dibuangnya ke tempat sampah, tanpa menyerahkan ke orangtuanya.” Celetuk wanita berkaca mata diamping pintu.
          “Atau langsung kita keluarkan saja dia dari sekolah?” sahut seorang lelaki yang berada di sepan wanita tersebut.
          “Tunggu dulu,pak.” Seorang wanita berjilbab yang berada tepat dibelakang lelaki tersebut,turut bicara. Namun dengan nada lebih rendah. “Sebenarnya itu bukanlah masalah serius.”
          “Apa maksud ibu?” lelaki pertama yang ternyata kepala sekolah menyanggah dengan nada tinggi.
          “Anak itu telah ke sekian kalinya membuat hancur hati ibu. Apa ibu tidak terhina atas kelakuannya?”
          “Tidak, pak.” Dengan nada rendah dan datar,wanita tersebut menjawab.
`        Bel berbunyi tiga kali tanda masuk kelas. Anak-anak langsung masuk ke dalam kelas masing-masing untuk menerima pelajaran. Beberapa anak laki-laki masih terlihat di depan kelas sambil tertawa-tawa dan menjahili teman yang lain. Bu Narendra yang mengajar Matematika di kelas XI-O3 terlihat menenteng tas di tangan kanan, dansetumpuk buku-buku tebal di tangan kirinya. Anak-anak yang berada di luar lantas masuk kelas. Susasana hening.
          Bu Narendra langsung menyebar pengelihatannya ke seluruh sudut ruangan untuk mencari murid kesayangannya. Namun dibenci seluruh guru. Dan,ketemu. Di sudut ruangan ia bersandar pada tembok di sebelah kanannya. Ia tempak membuka-buka buku paketnya,mencari materi hari itu. Bu Narendra pun tersenyum kecil.
          “Kita lanjutkan meteri yang kemarin. Sebagai pembuka,saya akan memberikan kalian soal untuk mengingatkannya.” Kemudia Bu Narendra berbalik badan, menuliskan soal di papan putih dengan spidol. Lima soal pun tertulis disana. Triogonometri. “ Saya beri waktu lima menit untuk mengerjakannya. Setelah itu kita bahas bersama. Lalu kita akan belajar materi selanjutnya. Silahkan dikerjakan.”
          Biasanya kelas akan menjadi ramai karena murid-murid bertanya cara mengerjakan. Namun kali ini susasana hening. Mungkin murid-murid sudah paham dengan materi yang disampaikan Bu Narendra waktu lalu. Lima menitr berlalu…
          Lelaki tersebut tidak mampu menatap Bu Narendra. Ia langsung mendekati anak yang bernama Iman itu.
          “Saya tidak inging menunjuk siswa yang lain untuk nomer pertama. Saya hanya ingin kamu yang mengerjakan. Berdirilah. Dan kerjakan soal ini. Ini pasti terlalu mudah untuk kamu.” Masih dengan nada yang sopan,seperti berbicara dengan orang yang lebih tua. Iman lantas berdiri. Se;uas senyum gembira dari bibir manis Bu Narendra tercipta,. Namun segera memudar saat Iman langsung keluar kelas. Tanpa mengerjakan soal dipapan. Beberapa anak terkejut atas sikap Iman.
          “Baru masuk dua bulan sudah buat masalah saja anak itu.” Celetuk siswa berambut jabrik setelah Iman hilang di balik pintu dengan nada kesal.
          “Masik untung sekoalah ini mau menampungnya. Coba kalau tidak. Mungkin di sekarang sudah sekolah di SLB!” sahut seorang lagi yang berada di dereatan bangku depan. Sesaat kelas menjadi ramai membicarakan Iman. Meski sakit hati Bu Narendra , namun beliaupun menyuruh supaya siswa tidak rebut.
          Hingga pelajaran usai,Iman tak kunjung kembali ke kelas. Dengan berat hati Bu Narendra harus meninggalkan kelas XI-O3 tersebut. Tak hanya sekali itu Bu Narendra diperlakukan Iman selakyaknya mush berat. Bahkan , pada awal masuk sekolah ini,karena ia adalah murid baru, Iman pernah menyebut Bu Narendra tidak becus mengajar. Yang lebih parah,ia pernah merokok di jam pelajaran BuNarendra di dalam kelas!.
          Bukan hanya kepada Bu Narendra. Namun juga kepada guru yang lain. Terutama guru perempuan yang hanya berjumlah lima di sekolah kejuruan tersebut. Namun Bu Narendra diam saja. Tak pernah mengeluhkan sukap Iman yang seperti ini terhadapnya. Ia berharap akan menemukan sisi baik dari siswa barunya itu. Mesuki bagai mencari sehelai bulu kucing didalam lautan kapas.
          Satu semester berlalu. Nilai Iman cukup memuaskan. Tak ada satupun mata pelajaran yang nilainya kurang dari tujuh. Banyak siswa dan guru yang yang tak percaya akan nilai yang didapat Iman. Merke mengira Iman pasti menyontek. Ia tak mungkin bertanya , karena tak satupun anak dikelasnya yang mau berbicara dengan anak sedingin Iman. Namut terdapat angka Sembilan koma lima di mata pelajaran Matematika. Ini cukup membuktikan bahwa di bidang ini ia tak menyontek. Atau mungkin Iman mencari jawaban dari internet?. Itu satu-satunya jawaban dari semua orang.
          Sekuat tenaga Bu Narendra mencari cara untuk membuktikan bahwa Iman tak seburuk yang mereka pikirkan selama ini. Akhirnya Bu Narendra memutuskan untuk mengunjungi rumah Iman, yang tak satu siswa dan guru pun mengetahui secara pasti letak rumahnya.
          Ternyata kawasan elit itu ia tinggal. Ia mengunjungi di waktu tidak ada jam mengajar. Bu Narendra hampir tak percaya. Rumahnya besar, indah. Terdapat bunga-bunga dan rumput hijau menyambut siapapun yang memasuki area rumahnya. Ada pula garasi yang terbuka. Nampakny seserang baru saja meletakan kendaraannya di sana. Ada sebuah mobil Mercedes silver, sebuah motor Kawasaki biru,dan sebuah motor matic. Padahal tiap harinya Iman hanya naik bus! Dan ia tak pernah memamerkan kekayaannya seperti jaket,septum baru,jam tangan, dan peralatan lainnya. Ia berpenampilan layaknya anak biasa.
          Seorang wanita menyambutnya dengan agak maulu dan mempersilahkan duduk. Nampaknya ia adalah pembantu. Interior rumahnyapun bak kerajaan. Seorang nenek-nenek dating mengahampiri Bu Narendra diikuti pembantu yang membawakan dua gelas air minum. Setelah mengenalkan diri dan memberitahu maksud kedatangannya, Bu Narendra langsung kepada pointnya.
          Ternyata benar apa yang telah diduga Bu Narendra. Kehidupan Iman tak semulus anak yang lain. Karena kedua orangtuannya businessman, ia kurang mendapat perhatian. Terutama ibunya yang selalu ke luar kota dan sejak kecil ia jarang ketemu. Itu kah sebab mengapa ia berbuat tidak baik pada guru wanita.
          “Itulah alasan mengapa nak Iman tidak mau sekolah di SMU yang kembanyakan ada perempuan. Jadi nak Iman masuk ke STM yang kebanykan laki-laki.” Nenek Rina menjelaskan.
          “Aku pulang… .” suara yang taka sing di telinga Bu Narendra an Nenek Rina. Iman. Ia terpanjat ketika mendapati Bu Narendra di dalam rumahnya, tepat di depanya. Bu Narendra lantas memohon diri untuk pulang. Nenek Rina mencegah Bu Narendra. Namun alas an pekerjaan belum selesai-lah yang membuat Nenek Rina menyerah.
          “Bu Narendra punya kandidat untuk mengikuti olympiade minggu depan?” Tanya kepala sekolah suatu hari.
          “Sebernarnya suda,pak… . Namun saya yakin pasti bayka yang tidak setuju.”
          “Benarkah? Siapa,bu?”
“Yuki Imansyah.” Pak Ferdi,kepala sekolah,terkejut mendengarnya. Namun beliau tidak berkata apa-apa. Memang kemampuan Iman di bidang Matematika lebih unggul dibandingkan siswa lain. Namu,mestikah Iman?? Pertanyaan itu kemudia membuat seluruh anggota sekolah tersebut terpaksa mengakui kemampuan Iman.
          Ajang olympiade telah di depan mata. Saat hendak berangkat,sosok Iman tak kunjung darang. Sudah lama Bu Narendra menunggu. Setelah lama waktu terbuang,akhirnya Bu Narendra memutuskan untuk membatalkan keikutsertaan sekolah lewat ponsel.
          “Tunggu dulu,Bu. Bu Narendra dari SMK 17 Negeri Timur?” kata seorang petugads yang mencatat kehadiran peserta.
          “Iya. Benar , pak. Ada apa?”
          “Anak didik ibu yang bernama… . Ah,ini dia. Yuki Imansyah. Dia sudah menunggu ibu disini sejak  lima belas menit lalu.” Kata petugas itu lagi yang mengagetkan Bu Narendra. Bu Narendra langsung melucur ke tempat olympiade yang membutuhkan wakyu dua puluh menit dari sekolah menggunakan mobil.
          Kegiatan berlangsung sengit namun sportif. Iman yang sikapnya dingin,begitu di depan lawan-lawannya seoalah-olah langsung menjadi dirinya yang lain. Begitu semangat dan tidak emosi. Acara berakhir. Pengumuman pemenang akan diberitahukan dua hari kemudian.
          “Kamu dating ke sini dengan siapa?” Tanya Bu Narendara begitu Iman ada di didepannya. Lama Iman berpikir sambil memandang Bu Narendra dengan pandangan bingung.
          “Motor.” Jawabnya singkat. Dan,, iya. Motor Ninja yang dilihat Bu Narendra di rumahnya terlihat lagi di parkir gedung itu. Bu Narendra mengajak Iman untuk makan-makan. Namun ia menolak Iman berkata bahwa akan menjemput seseorang di bandara yang tak jauh dari sana. Itulah alasannya membawa motor. Dan,Iman terlihat gagah mengendarai motor itu.
          Pengumuman hasil olympiade membuat seisi sekolah dengan alasan apapun, harus mempercayainya. Iman keluar sebagai juara pertama. Seoalah-oalah atmosfir sekolah berubah seratus delapan puluh derajad. Hampir seluruh siswa dan guru memberi ucapan selamat dan mulai mau berbicara dengannya.
          Sejak olympiade itulah, Iman sedikit demi sedikit mulai membuka diri. Tak bersifat dingin,tidak kasar,murah senyum,banyak teman, dan mulai disukai guru. Itu semua berkat Bu Narendra. Namun dilain sisi, ia masih merasa kesepian. Suatu kasih saying yang belum pernah ia rasakan sejak ia dilahirkan. Sosok IBU… .

Karya : Siswa SMA Negeri 1 Tunjungan
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

INGAT WAKTU YA..

RUMAH BELAJAR

RUMAH BELAJAR
Belajar Dimana Saja

JATENG PINTAR

JATENG PINTAR
portal jawa tengah

Daftar Postingan

Diberdayakan oleh Blogger.

Statistik Penayangan

Recent Posts