“Haaaah… Aku ingin berteriak sekeras
mungkin. Aku ingin mengadu tentang semua ini. Tetapi pada siapa aku dapat
mencurahkan semuanya?”.Keluh Azkia gadis remaja yang sedang dilanda kesepian.
Ia yang selalu merindukan sosok teman sejati yang benar-benar mengerti
hidupnya. “Haruskah aku mengadu pada
matahari ataukah pada bulan yang selalu tampakkan cahayanya dari jendela
kamarku?”
Azkia merasa terasingkan didalam
teman-temannya maupun didalam keluarganya. Tak ada satu pun yangb peduli dengannya
terkecuali neneknya. Ibunya bekerja di negeri orang,karena urusan perusahaan
yang mengharuskan beliau seperti itu. Sedangkan ayahnya,entah dimana
keberadaannya. Sejak kecil ia hanya brerteman dengan nenek dan ibu. Itu pun tak
seyiap hari ibu dapat menemani hara-hari Azkia.
Mentari pagi menampakkan sinar
hangatnya, seakan-akan meyapa Azkia dalam cerahnya pagi hari itu. Seperti biasa
,Azkia menjalani aktifitasnya sehari-hari yang sering dilakukan. Dengan langkah
berat, ia menampakkan kaki untuk menuju sekolah. Ia dengan langkah yang lemas
mulai menuju keruang kelasnya. Ia menyeretkan tas selempangnya dan menaruhnya
dengan kasar diatas meja. Teman-teman disampingnya menoceh tidak jelas dan
terdengar keras ditelinganya. “Buatlah 1000 banguu kertas, dan tulis disetiap
bangau itu sebuah harapan yang selama ini kamu pendam. Karena dengan itu
harapan kamu pada ke-1000 bangau kertas tersebut akan terwujud. Percayalah.”
Dengan rasa heran dan kaget, spontan
ia mengangkat kepala. “Ternyata tiadak ada satu orang pun di kelas ini. Mungkin
ini hanya halusinasiku saja”. Ujar Azkia Nampak kebingungan. “Terkadang dunia
memang kejam.” Azkia mendengarkan kembali suara yang tak jelas darimana asalnya.
Bel sekolah bordering tiga kali
tanda siswa untuk pulang. Azkia memutuskan untuk bergegas pulang kerumah ,
karena ia sudah tidak sabar ingin belajar membuat bangau kertas bersama nenek.
Sesampai dirumah, ia melihat nenek sedang asyik merangkai bunga mawar yang akan
pengharum serta hiasan ruangan. “Nenek , Kia pulang.” Sapa Azkia kepada nenek.
“Nek bisa ajarkan sku membuat bangau kertas?”. Sambungnya. “Nenek tentu bisa
membanyu kamu, kamu kan cucu kesayangan nenek. Memang untuk apa? Tumben-tumben
sekali kamu minta ajarkan nenek membuat
bangau kertas “. Tanya nenek , setengah agak mengejek cucunya itu.
“Nah, begitu caranya. Kamu sudah
pahamkan dengan apa yang nenek ajarkan tadi?”.
Azkia mengangguk tanda mengerti. Sebagai tanda terima kasih,Azkia
mencium kedua pipi neneknya diruang tamu dengan secangkir the hangat yang
menemani nenek.
Azkia mulai membuat bangau kertas
dan menuliskan sebuah harapan pada setiap bangau kertas yang di buat itu. Di
penuhinya tasnya dengan tumpukan kertas berwarna-warni untuk membuat bangau
kertas. Yang katanya akan mengabulkan harapan apabila talah dibuat 1000 bangau
kertas.
Tiada hari tanpa membuat bangau
kertas. Nenek hanya bisa tersenyum dan geleng-geleng kepala jika ia melihat aku
sedang asyik membuat bangau kertas itu.
Baginya, dunia ini sangat kejam.
Karena dalam hidupnya, ia harus terpisah dengan orang-orang yang ia cintai dan
sayangi. “Mungkin, orang-orang telah menganggapku gila atau apalah’ hanya
karena aku selalu mengasingkan diri dari mereka.” Keluhnya merasa sebal dengan kenyataan yang
harus ia terima.
“Dan tak jarang mereke memergoki ku
sedang berbicara dengan Tammy kucing kesayanganku. Pastinya meraka tambah
curiga denganku kalau aku memang benar-benar gila.” Ocehnya dalam hati, karena
kesal dengan orang-orang yang disekitarnya.
Tak jauh dari keramaian
teman-temannya, terdengar suara batuk wanita tua. Wanita itu taka sing adalah
nenek Azkia. Ia berjalan menuju kearah neneknya. “Nenek sakit?” Tanya Azkia
cemas melihat keadan neneknya yang
sedang kurang sehat itu. “Nenek tidak apa-apa nak,nenek baik-baik saja. Kamu
jangan khawatirkan nenek”. Jawab nenek berusaha menenangkan cucunya. “Nenek,
Azkia belikan obat ya,Azkia tidak mau nenek sakit. Nenek tunggu Azkia disini
ya, Azkia akan segera kembali.” Azkia yang segera meninggalkan nenek untuk
menuju apotik membeli obat.
Ia berjalan setengah sambil berlari
dikesunyian malam jalan raya itu. Sambil berjalan menuju apotik. Dalam perjalanan
pulang. Azkia membuka tas dan mengambil kertas terakhir untuk dibuat bangau
kertas.
Azkia hanya terfokus pada bangau
kertasnya. Ia tidak memperhatikan sekelilingnya. Keseriusannya membuat ia tak
sadar bahwa tepat di depannya ada mobil yang melintas kencang. Dengan keadaan
yang sudah tidak dapat dihindari mobil itu menabrak Azkia yang sedang lengah.
Kecelakaan hebat itu pun
terjadi. Tubuh terpental jauh menghantam
bangunan di pinggir jalan. Darah segar bercucuran keluar dri kening dan kepala
bagian belakang Azkia. Jalan raya dipenuhi dengan darah segar Azkia dan
dikelilingi oleh kierumunan orang yang datang untuk melihat dan menolongnya.
Bangau kertas yang semula berwarna putih, kini berubah menjadi merah segar.
Ratusan bangau kertas yang bewarna putih berhamburan keluar dari tasnya dan
berubah warna menjadi merah, akibat darah Azkia yang menyelimutinya.
Pengendara mobil yang tidak
bertanggungjawab mulai meninggalkan Azkia di tengah kerumunan orang. Orang-
orang yang berada di pinggir jalan hanya terdiam membisu dan tak dapat
bertindak. Tetapi, sebelum Azkia benar-benar tak sadarkan diri, ia sempat
mendengar suara mestiterius itu lagi. Suara itu membisikan kepadanya,
“Percayalah, ia akan dating Azkia, datang untuk menghampiri dan menjemputnya”.
Tak lama dari itu, ada salah-satu wanita paruh baya datang menghampiri tempat
kecelakaan itu. Dan dilihatnya sedang tergeletak lemah tak berdaya tubuh
seorang gadis yang tak lain adalah anaknya perempuannya.
Sudah tiga hari Azkiatidak sadarkan
diri. Ia terbaring lemas diruangan yang serba putih itu. Sedang duduk dua orang
wanita tepat di samping Azkia, yang menemaninya selama tidak sadarkan diri
yaitu, ibu dan neneknya. Nampak pucat wajah wanita tua itu. Karena rasa
khawatir dan rasa cemas atas keadaan gadis kecil yang disayanginya.
Pagi berganti siang, siangpun
berganti malam. Gadis itu masih belum sadarkan diri dari tidur lamaya. Mega pun
mulai menutupi terik sang surya di ufuk barat. Mata mungil nan indah itu mulai
terbuka secara perlahan. Jemari Azkia mulai bergerak walau masih lemah.
Ketika Azkia membuka kedua matanya,
dilihatnya soksok wanita paruh baya nan cantik yang tak asing baginya, sedang
berdiri dihadapannya sembari menggenggam tangannya. Ternyata wanita yang
dilihatnya itu tidak lain adalah ibunya.
“Anakku…bagaimana keadaanmu? Maafkan
ibu nak, ibu tidak bisa menjadi seorang ibu yang baik, yang dapat menjaga
anaknya dan membimbingnya. Selama ini ibu tidak bisa menemanimu nak, maafkan
ibumu ini”. Dengan bercucuran air mata yang keluar dari kelopak matanya sembari
menggenggam tangan anaknya.
Dengan mata yang masih sayu , Azkia
langsung bangkit dan memeluk tubuh ibunya sambil berkata,”ibu… Azkia merindukan
ibu, jangan inggalkan Azkia bu, aku mohon ibu tetap disini bersamaku tetap di
sampingku dan menemaniku”. Ujar Azkia dengan berlinang air mata yang
bertahun-tahun tak pernah bisa terbendung.
0 komentar:
Posting Komentar